VipbandarQ Lounge
Peningkatan Stres Akibat Hal yang sama juga di sampaikan oleh Psikolog Anak dan Keluarga Astrid WEN yang menyebut healing bukan bentuk dari traveling ataupun waktu istirahat dari rutinitas. “Proses healing sebenarnya dipandu oleh ahli jadi ada yang guide atau mungkin dipandu oleh mentor yang memang memiliki spesialisasi dalam proses pemulihan tersebut,” kata Astrid kepada Liputan6.com.
Setiap orang kata Astrid memiliki kebutuhan healing yang berbeda. Selain itu seseorang yang melakukan healing juga perlu kesadaran akan ada hal yang di pulihkan dalam di rinya. Saat melakukan proses penyembuhan di perlukan juga suasana yang tenang kemudian di lanjutkan dengan merefleksikan diri.
Yaitu dengan mencari tahu apa penyebab trauma atau permasalahan yang di hadapi selama ini. “Apa yang bisa saya lakukan dengan lebih baik ke depannya, apa yang sebenarnya menjadi sumber masalah ini. Jadi kita benar-benar sebenarnya memberikan waktu untuk kita berani melihat masalah ini dan kemudian melakukan suatu perencanaan tindakan di masa depan,” papar dia.
Kendati begitu, Astrid menilai traveling ataupun staycation sangat bermanfaat ketika di manfaatkan untuk berpikir sejenak dari kelelahan bekerja atau menenangkan diri dan siap beraktivitas kembali.
“Itu bisa sepanjang memang tadi bahwa kita enggak punya masalah kesehatan mental yang butuh pertolongan ahli,” jelas Astrid.
Diet Media Sosial
Lanjut Devie, sebenarnya aksi traveling atau liburan ke tempat wisata merupakan cara lama dan upaya manusia untuk mengembalikan kesegaran, kenyamanan akibat suatu hal. Misalnya dari tuntutan pekerjaan. Sedangkan mengunggah kegiatan liburan merupakan kegiatan yang sudah melekat untuk pengguna media sosial.
Dia menilai unggahan atau postingan tersebut merupakan menjadi permasalahan baru yang timbul dan berdampak pada peningkatan stres seseorang. Sebab beberapa diantaranya akan sibuk membandingkan d i rinya sendiri dengan orang lain berdasarkan postingan media sosial.
Sehingga lanjut Devie, ada sejumlah pihak yang tertekan karena tidak mampu memenuhi keinginannya sendiri.
“Akibat aksi memposting atau memasang hal-hal terkait dengan gaya hidup atau hidup yang gaya yang kemudian para penontonnya tidak mampu memenuhi atau mendapatkan hal yang dia tonton ini kemudian bisa menimbulkan kecemasan ketakutan dan sebagainya,” paparnya.
Karena itu kata Devie, saat ini muncullah adanya gerakan baru untuk penggunaan media digital. Yakni kedisiplinan dalam memilih konten yang akan dik onsumsi atau biasa di sebut diet digital. Mulai dari jumlah konten yang di pilih, berapa lama seseorang menikmati sajian konten di media sosial, dan jarak antara satu konten dengan konten lai
Fenomena tersebut mengakibatkan Gen Z di anggap manja, mudah rapuh mentalnya, karena seringkali menyuarakan hal-hal yang di rasakan melalui media sosial. Benarkah?
Psikolog klinis dewasa Nirmala Ika membantah hal itu. Menurut dia, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi bedanya Gen Z dengan sebelumnya.
Salah satunya yaitu adanya perbaikan perekonomian yang ada. Untuk generasi sebelumnya, berteman dan bersosialisasi dengan orang lain merupakan bentuk keharusan. Sedangkan saat ini kemudahan digital dan fasilitas memadai membuat proses bersosialisasi ataupun beradaptasi mereka kurang terasah.
Kenapa Gen Z Di anggap Berbeda ?
Psikolog Anak dan Keluarga Astrid WEN menilai konflik yang di hadapi oleh Gen Z berbeda dengan sebelumnya. Hal itu juga di dukung dengan adanya tingkat ekstroversi di media sosial. Contohnya menyuarakan hal-hal yang di anggap bertentangan hingga berbagi cerita yang terkoneksi dengan orang asing.
Astrid menyebut kebiasaan itu di anggap aneh oleh generasi sebelumnya. Padahal, sangat wajar untuk Gen Z. Kemudian untuk Gen Z kebutuhan untuk di akui ataupun di kenali juga sangat tinggi bersamaan dengan perubahan gaya hidup dan mudahnya teknologi serta perekonomian yang semakin membaik.
“Memang ada perbedaan value perbedaan persepsi bagaimana Gen Z menghadapi tantangan. Kemudian karena kepekaan terhadap diri mereka juga tinggi tetapi sosialisasi juga lebih banyak di dalam dunia digital tidak sebanyak seperti kita bertemu dengan banyak orang secara langsung,” papar Astrid.
Selain itu Astrid menilai Gen Z merupakan kelompok yang kritis dan lebih terbuka dengan masalah isu kesehatan mental. Karena hal itu dia tidak setuju jika Gen Z di anggap lebih lemah secara mental di bandingkan dengan generasi sebelumnya.
“Itu harus dil ihat dari per-satuan orang berhadapan dengan ahli resiliensi setiap anak Gen Z seperti apa. Untuk mengatasi labelasi ini di butuhkan dialog generasi sebelumnya dengan Gen Z, misal tantangan Gen Z ini,” jelas dia.
Sementara itu, pengamat sosial Devie Rahmawati menilai pola asuh merupakan penyebab utama kenapa Gen Y dan Z di nilai berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi Y atau milenial merupakan peralihan perkembangan teknologi seperti saat ini. Orang tua yang mengasuh atau membesarkan Gen Y dan Z cenderung memanjakan atau tidak menginginkan kejadian dulu terulang kembali.
Misalnya kesusahan hidup atau sejumlah benturan-benturan dengan kedisiplinan yang kuat. Hal itu juga di dukung dengan adanya perbaikan dalam segi perekonomian dari setiap generasi.
VIpbandarQ Register
BINGUNG MAU DEPOSIT TAPI ATM JAUH ?
MANFAATKAN E-WALLET ATAU PULSAMU SEKARANG JUGA !
DEPOSIT MUDAH DAN NYAMAN TANPA RIBET
HANYA DI VIPBANDARQ, GABUNG SEKARANG JUGA !
MENERIMA DEPOSIT SELURUH BANK YANG ADA DI INDONESIA !
📱 VIA PULSA TELKOMSEL & XL POTONGAN TERMURAH !
📞 WA : +6281381734654 /bit.ly/vipsuper8aaa